Pages

Saturday, May 5, 2012

Rejeki yang Tak Pernah Berhenti Mengalir

Hari kelima,

Sudah mendekati satu minggu sejak saya mengikuti program ini. Semacam project pribadi dengan Tuhan, tentang bagaimana kita memandang hidup lalu kemudian bersyukur atas semua pencapaiannya. Terimakasih telah memberi saya begitu banyak kemampuan yang pada satu waktu sepertinya saya merasa tak mampu untuk menghadapi tantangan-tantangan di depan mata. Seringkali, saya sudah duluan menyerah dan tak percaya dengan kemampuan diri sendiri sebelum akhirnya sebuah kenekatan tiba-tiba muncul dalam benak saya untuk tetap bergerak maju. Hidup mengajarkan saya begitu banyak hal, salah satunya, seberat apapun langkah-langkah yang harus dituju, pada akhirnya tak selalu berat seperti kelihatannya. Setiap orang punya kemampuan luar biasa dalam dirinya untuk menaklukkan setiap tantangan. Seringnya ini tidak disadari. Maka, saya bersyukur untuk kemauan dan niat yang besar dalam diri saya untuk terus bergerak bukan hanya diam atau cukup puas dengan jalan di tempat. Pikiran-pikiran negatif memang tidak akan membawa kita kemana-mana. Seperti terkungkung dalam cangkang kerang yang sempit, menghimpit bahkan bisa jadi gelap. Esensi hidup itu berjalan. Menatap lurus ke depan, dan tak berhenti lantaran di tengah arus perjalanannya kita tak memperoleh apa yang kita harapkan. Tak semua harus sesuai dengan apa maunya kita. Hidup adalah tentang belajar menerima apa yang telah disuguhkan, bukan mengeluh seperti tak pernah ada tujuan. Semua yang ada dalam kita, tak pernah sia-sia. Hidup bisa jadi sebuah masterplan yang agung, tentang kita dan orang-orang di sekitar dari Tuhan pencipta Semesta Alam. Makanya, jangan pernah protes ketika hidup menawarkan 'apa perlunya' dan bukan 'apa maunya' kita. Bersyukurlah. Semua adalah hal-hal terbaik, hanya di saat yang bersamaan kita belum sepenuhnya sadar.

Bersyukur untuk hari keempat, ketika dapat berjalan dengan baik. Terus terang, saya agak kebingungan juga untuk menulis satu persatu, karena apa yang saya terima kemarin semuanya harus tetap disyukuri. Saya masih tetap bekerja dan mempunyai penghasilan, makanan dan minuman yang cukup untuk saya dan keluarga, bersyukur masih diberi kesehatan di tengah kondisi cuaca yang tidak menentu belakangan ini. Kemarin, saya juga harus bersyukur walaupun pulang Patas yang saya tumpangi itu penuh dan terpaksa berdiri. Bersyukur masih punya dua kaki dan kondisi tubuh yang prima untuk berdiri di tengah kemacetan yang luar biasa jahanam menurut saya. Hahaha... 2 jam berdiri dan mungkin sudah ganti-ganti posisi beberapa kali. Puji Tuhan untuk kaki yang begitu sampai rumah pegal-pegal. Tetap disyukuri, kan? Toh saya ingat, ada orang-orang lain di luar sana yang harus bekerja sambil berdiri, mungkin sekitar 8 jam atau lebih. Contoh paling mudah adalah para Sales Promotion di mall-mall. Bisa dibayangkan, mereka tiap hari berdiri dan melayani para pembeli produk yang mereka tawarkan. Terkadang bisa dehidrasi, karena seringnya yang saya tahu, kurangnya asupan cairan. Berjuang memakai sepatu hak yang sudah ditetapkan tingginya oleh manajemen toko. Rasa-rasanya saya memang harus lebih banyak bersyukur karena ini tak setiap hari saya alami. Dulu, saya sendiri juga pernah mengalami kondisi kerja yang demikian ketika masih bekerja di dapur Pastry sebagai Chef. Lumayan berat, dan dituntut harus serba gesit di tengah tekanan yang boleh dibilang tidak ringan. Kondisi tubuh memang harus selalu prima. Makanya, saya benar-benar bersyukur karena pernah ada dan merasakan, sehingga tidak begitu saja memandang sebelah mata pada orang lain.

Kemarin, saya ngobrol-ngobrol, bercanda, dan ngegodain mas. Hal yang sering saya atau kami berdua lakukan. Sesuatu yang mungkin sekarang hampir-hampir jadi barang mewah karena kondisi kami akhir-akhir ini memang tak lagi seperti waktu-waktu lalu. Bersyukur untuk kedekatan kami berdua. Memang, untuk waktu-waktu sekarang, kami belum bertemu lagi secara fisik. Entah kapan, saya percaya akan ada saat untuk itu. Biarlah hari ini, kami menjalani fase masing-masing untuk sama-sama bertumbuh dan bertransformasi menjadi seseorang yang lebih baik. Kami tak pernah putus dalam berhubungan, kami sedang belajar untuk saling merindukan. Mungkin nanti, kita adalah dua orang yang paling berbahagia karena dipertemukan. Pengin nangis sih ketika ngetik ini. Ga tahu kenapa. Saya juga bingung untuk nulisnya gimana. Hahaha... Kalau ada yang tahu, mungkin akan terasa di tiap kata dan kalimatnya. Saya seperti meniupkan nafas dan menyuntikkan nyawa ketika berbicara mengenai sosoknya.

Kemarin malam, di rumah kakak masak Soto Ayam. Makanan yang saya suka dan selalu mengingatkan Bapak dan Ibu di Magelang. Iya, Bapak dan Ibu memang punya warung Soto Ayam. Kata langganan Bapak, teman-teman, mantan saya, dan Mas yang pernah mencoba soto Bapak enak dan lain dari soto-soto sejenis di dekatnya. Saya sendiri harus mengakui itu, bukan karena saya salah seorang putranya, tapi ya memang begitu. Pengin sih, nanti suatu saat saya bisa mengembangkan usaha Bapak dan Ibu memakai resep keluarga hasil eksperimen kedua orang tua saya. Bukan resep rahasia juga, toh ketika teman-teman nanya ke Ibu pun, pasti dengan senang hati akan diajari. Tapi, di beberapa point, ada satu kekhasan yang tidak dibagi ke orang lain. Hahahaha.... :D

Kemarin dapat oleh-oleh beberapa biji Apel dari teman baru pulang dari Malang. Kota yang sangat-sangat ingin saya kunjungi. Semoga kesampaian. Ya bukan berarti saya mau ngapelin mantan sih, begitu yang sering teman-teman saya bilang kalau udah bikin rencana mau trip ke Malang. Haha... tapi boleh jugalah kalau dia berkenan jadi tour guide selama di sana. :P

Saya lupa untuk bersyukur karena menemukan "Segitiga", batu saya. Tadinya bingung banget karena ternyata lumayan susah menemukan batu di Jakarta. Kaya mau terbang pinjam baling-baling bambu dan pergi ke rumah di Magelang yang pasti gampang banget nemuin batu. Sempat dapat satu, lumayan besar, tapi hati saya bilang tidak. Ga ada ikatan atau apalah namanya. Pokoknya ga sreg. Saya simpan dulu semalaman, lalu besoknya ketika saya berangkat ke kantor di dekat rumah, tiba-tiba mata saya tertuju padamu ke sebuah batu kecil. Saya ambil. Bentuknya segitiga, dan hati saya bilang "ini". Segitiga, punya arti yang dalam buat saya entah kenapa. Berhubungan dengan sebuah fase yang belum lama (atau mungkin sekarang masih) dijalani. Tiga, berarti nama saya: Tri. Bentuknya sekilas ketika dibalik memang mirip hati. Batu yang keras, sepertinya memang sedikit mirip dengan gambaran sifat saya yang kadang-kadang keras, dan ngeyel; tetapi kuat. Eh, saya tidak boleh sombong, ya? Maaf.

Mungkin sisanya, saya berterimakasih untuk satu hari kemarin yang mungkin terlewat atau tak sempat saya ingat dan syukuri.

Terimakasih...

Terimakasih...

Terimakasih...

==========

Berbicara mengenai rejeki yang telah saya terima, jujur, banyak sekali. Sangat banyak. Kalau 10 saja mungkin tak ada apa-apanya ketimbang yang pernah saya dan keluarga terima selama ini. Saya tidak akan menuliskan apa-apa di sini, tetapi mungkin sedikit berbagi dengan apa yang telah saya alami. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, keluarga saya memang bukan dari ekonomi yang kuat. Sederhana, dan dulu pernah tahu bagaimana rasanya kekurangan. Saya selalu bersyukur untuk satu hal itu. Bapak bukan datang dari golongan yang berpendidikan tinggi, kalau boleh saya bilang, Sekolah Dasar saja mungkin tidak lulus. Tetapi sepanjang yang saya tahu, Bapak adalah seseorang yang punya kemauan luarbiasa untuk berkembang dan maju. Beliau bahkan tidak pernah malu untuk belajar dengan orang-orang baru. Pernah merantau hingga Sumatera, dan akhirnya menetap di Magelang setelah bertemu dengan Ibu saya. Puji Tuhan, dari kecil saya diajarkan untuk tidak manja. Saya bahkan hampir tidak pernah minta dibelikan ini itu, meski teman-teman yang mempunyai mainan atau baju atau makanan yang saya tahu tidak mampu beli. Saya cukup puas dengan apa yang saya miliki. Seringnya, malah Bapak dan Ibu yang tiba-tiba mengajak saya ke sebuah toko mainan dan di sana mereka membelikan saya satu, meski tak seberapa. Kenangan yang saya ingat adalah ketika saya sekitar 3 atau 4 tahun, sepulang dari gereja, Bapak Ibu membawa saya ke toko dan membeli sebuah piano mainan kecil dari kayu. Warnanya merah dengan tuts kecil putih satu setengah oktaf, dengan tuts hitam (kres #) yang cuma dicat tanpa bisa ditekan. Saya senang luar biasa. Bisa jadi, itu mainan paling mahal yang pernah saya peroleh dari Bapak dan Ibu. Yah, ketika kecil, saya terobsesi ingin jadi organis/pianis gereja ketika saya sudah besar.

Saya bersyukur karena bisa bersekolah di sekolah yang masuk kategori terbaik di kota saya. Tanpa campur tangan Tuhan, rasanya saya hampir tak percaya. Dari TK sampai SMA, Bapak dan Ibu memasukkan saya ke sekolah swasta Katolik di Magelang. Waktu lulus SD, tadinya saya ingin melanjutkan ke sekolah negeri, apalagi saya cukup yakin dengan angka NEM saya saat itu. Bapak bilang "Tidak. Kamu masuk ke Tarakanita saja yang bagus dan disiplin. Dekat dari rumah juga." -- Saya memang sempat dilema, bukan protes, karena saya tahu itu sekolah yang cukup mahal untuk saya pribadi. Bapak meyakinkan saya, bahwa nanti pasti sudah disediakan rejekinya. Daripada kamu sekolah jauh-jauh, kan ongkos transport bisa dialokasikan ke yang lain, entah buku-buku dan SPP kamu. Saya bersyukur atas itu. Di sekolah yang kemudian mengajarkan saya untuk tidak pernah membeda-bedakan, kesadaran dan disiplin yang tinggi sedikit banyak membentuk diri saya sekarang ini. Saya pun selama tiga tahun, berhasil memperoleh beasiswa. Terimakasih...

Saya bersyukur dengan bantuan finansial untuk saya sekolah dan Bapak Ibu dari kakak yang sudah bekerja di Jakarta. Puji Tuhan, sedikit banyak membantu kehidupan kami di Magelang saat itu. Terimakasih.

Bapak akhirnya bisa membeli tanah dan rumah yang lebih layak untuk kami. Sebuah pencapaian yang menurutnya paling besar dari seorang Bapak dan Ibu. Berjuang bertahun-tahun di tengah kondisi ekonomi kami yang tidak begitu kuat, Bapak bisa menyisihkan sedikit penghasilannya untuk membeli impiannya. Sebuah rumah milik sendiri. Tadinya, kami tinggal di tanah peninggalan nenek-kakek saya. Rumah kami kecil, hanya tiga petak. Itu pun juga jerih payah Bapak yang membangun sendiri berbekal hasil beliau merantau. Kami sudah biasa dipinggirkan saat itu, lantaran ekonomi kami yang dianggap kurang. Saya sendiri sampai sekarang masih suka terharu, ketika akhirnya Bapak dengan tabungannya yang tak seberapa ditambah hasil menjual jatah tanah dari orangtuanya di desa untuk membeli tanah dan membangun impiannya. Rumah yang lebih layak untuk tempat tinggal istri dan anak-anaknya. Satu hal yang selalu saya ingat adalah, "Biar kamu nggak malu kalau ada teman-teman yang main. Dan nanti, Bapak ga perlu bingung untuk nampung cucu-cucu dan mantu Bapak." Terimakasih untuk anugerah yang luar biasa ini.

Saya bersyukur, karena satu cita-cita masa kecil saya tercapai. Saya dibiayai Kakak untuk ikut kursus musik Electone di Yamaha. Waktu itu, sepulang saya latihan drama Natal di gereja, kakak yang baru pulang dari Jakarta, menjemput saya. Katanya, yuk kamu daftar kursus musik. Saya gak bisa berkata-kata. Saya senang. Bagian dari masa kecil yang akhirnya tak cuma jadi angan tetapi merangkak keluar dari kotak dan mewujud jadi kenyataan. Saya belajar Electone selama 4 tahun, yang akhirnya saya memilih berhenti untuk fokus ke sekolah disamping tidak ingin merepotkan lagi mengenai biaya yang saya tahu tidak murah itu. Lagipula, waktu 4 tahun sudah cukup untuk saya menguasai dasar-dasarnya. Membaca partitur, menyinkronkan jari jemari di atas papan tuts dan lain-lain. Selebihnya, improvisasi dan tetek bengeknya bisa otodidak saya pelajari. Terimakasih untuk sebuah kesempatan mencapai cita-cita...

Pada dasarnya, sesusah apapun kondisi ekonomi kami, Tuhan tak pernah berhenti untuk memberkati. Selalu ada saja bantuan-bantuan yang kadang tak pernah kami pikirkan sebelumnya. Ketika bingung membayar tagihan sekolah atau listrik, misalnya, tiba-tiba seolah ada rejeki yang diberikan dari atas. Semua dapat diselesaikan dengan baik. Ini yang terus terjadi sampai sekarang. Entah keberuntungan atau apa namanya, yang pasti setiap manusia punya rejekinya sendiri-sendiri. Sekarang yang harus disyukuri adalah bagaimana kondisi ekonomi keluarga yang semakin baik. Tadinya bingung untuk membagi-bagi penghasilan yang tidak seberapa untuk makan, bayar ini itu, kini kami bisa membantu sedikit-sedikit saudara atau sekitar yang sedang memerlukan. Saya bersyukur dan berterimakasih dengan anugerah yang Tuhan beri. Rejeki kami tak pernah berhenti mengalir. Tuhan baik? Iya, sangat baik dan terlampau baik untuk kita yang sering lupa mengucap terimakasih. Ketika memandang ke bawah, saya bersyukur pernah ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Akan ada saatnya untuk mereka diangkat ke atas. Setiap manusia punya kesempatan dan hak yang sama di mata Tuhan. Terimakasih tak terhingga untuk Tuhan yang Maha Pemurah....

Jakarta, 5 Mei 2012 -- dan saya masih ingin menangis haru karenanya... Maaf, terlalu banyak kata luar biasa di sini, karena HIDUP TERLALU LUAR BIASA UNTUK DIANGGAP BIASA-BIASA SAJA.

 

 

--------------------------

Magical May 2012 - day 5 | Wealth

No comments:

Post a Comment

Kembang Api

Taman kota dan lalu lalang pekerja ibukota selepas jam kerja. Dia senang sekali mengamati manusia-manusia yang melintas di depannya. Suara k...