Pages

Friday, December 30, 2011

Opera (Trans)Jakarta

 foto dipinjam dari sini

Saya sendiri juga tidak tahu kenapa pilihan judul akhirnya ke dua kata tersebut. Tapi menurut saya, tulisan ini memang lebih pas kalo diberi judul demikian. Ini pribadi saya sendiri, lho.
Pagi ini, seperti biasa saya berangkat ke kantor naik angkutan umum. Tidak terlalu padat seperti biasanya. Mungkin karena sudah mendekati akhir tahun dan banyak pekerja-pekerja kantoran di Jakarta yang sudah mengambil cuti akhir tahun mereka. Cuaca agak terik, tidak seperti kemarin yang mendung setelah diguyur hujan semalaman.
TransJakarta, masih sama seperti hari-hari biasa. Angkutan publik yang setia saya gunakan setiap pagi untuk berangkat beraktifitas. Di sini, setiap hari akan selalu ada cerita-cerita dan potongan-potongan kisah hidup yang bisa saya lihat, lalu kemudian saya pelajari. Termasuk tingkah laku para penumpang yang terkadang bisa membuat saya geleng-geleng kepala dan pernah seperti hilang kesabaran.
Rute yang saya tempuh adalah Blok M - Kota, kemudian berhenti di sebuah halte tak jauh dari Gajah Mada. Saya kemudian berbarengan dengan dua orang ibu. Salah satunya adalah ibu-ibu muda membawa dua orang anaknya yang masih kecil. Belakangan baru saya tahu, ibu tersebut juga mengendong seorang lagi anaknya yang masih bayi. 3 orang anak.
Saya sempat berpikir, kok selisih usia ketiga anak tersebut tidak begitu jauh. Bahkan mungkin terlalu berdekatan. Sempat muncul rasa tidak tega dan iba melihat ibu tersebut harus menjaga ketiga buah hatinya di bus yang semakin penuh. Saya duduk di pojok belakang, diam, sesekali mendengar percakapan ibu muda tersebut dengan seorang ibu penumpang yang duduk tepat di depannya.
Penumpang itu bertanya tentang tujuan si ibu dengan ketiga anaknya, apakah ia sendiri sampai bertanya tentang usia ketiga anak-anaknya. Rasanya, semakin saya mengikuti percakapan tersebut, saya lalu berpikir terkadang hidup seperti tidak adil terhadap seseorang. Anak pertamanya baru 4 tahun, lalu adiknya 1,5 tahun dan adik bayinya baru 2 bulan. Ketika ditanya apakah suaminya tidak ikut mengantar, Ibu muda itu menjawab, "suami saya ndak ada." Bukan karena meninggal atau cerai, ibu itu lalu menambahkan, "Suami ndak ada. Pergi ndak tahu kemana pas si kecil ini ada di perut. Katanya kerja, tapi sampai sekarang ndak pulang dan ndak pernah kasih kabar."
Saya yang mendengar saja, bisa kaget dan mikir kok ada laki-laki macam itu yang mau enaknya saja lalu pergi ketika harus bertanggungjawab menghidupi anak istrinya. Memang, kalo diperhatikan ibu muda tersebut sepertinya juga dalam keadaan ekonomi yang (maaf) mungkin kurang mampu. Dia bertahan hidup dan menghidupi ketiga anaknya yang notabene masih sangat kecil dengan membuka warung kecil-kecilan. Di Cikarang. Ya, kalian tidak salah dengar. Ibu itu dari Cikarang bersama tiga anaknya, ke Jakarta entah menemui siapa atau mungkin keluarganya. Akhirnya saya berkesimpulan, sesulit apapun hidup entah karena saya yang mengeluh atau merasa kurang ini itu ternyata masih banyak yang ada di bawah saya. Sesusahnya hidup, saya masih bersyukur punya pekerjaan, bisa menikmati libur di akhir pekan, lalu buat apa kalau saya harus mengeluh karena suatu hal kecil yang tidak sesuai dengan keinginan saya. Sedangkan ibu tersebut, setiap hari harus bekerja ekstra keras untuk ketiga buah hatinya sekaligus menjadi orang tua tunggal yang tentunya tidak mudah, karena bagaimanapun figur seorang ayah tetap diperlukan oleh anak-anaknya.

Kemudian, apakah kalian masih juga mengeluh dengan hidup yang menurut kalian tidak adil? Pertanyaan saya, tidak adil untuk siapa? Tidak adil hanya karena suatu hal kecil sedang kita masih bisa menikmati makan enak, tidur di kamar yang layak, jalan-jalan, gadget-gadget keluaran terbaru, produk fashion dari merek ternama atau sekedar minum teh dan kopi di gerai internasional. Lalu, bagaimana dengan saudara-saudara di sekitar kita yang untuk menyambung hidup mereka sehari saja, mereka harus berlelah-lelah membanting tulang dan hasil yang didapat tidak seberapa? Masihkan kita bisa berteriak hidup tidak adil (buat kita) lantaran ego pribadi yang tidak terpuaskan? Pelajaran penting saya peroleh pagi ini. Di TransJakarta, akan selalu ada sisi menarik tentang potongan kisah hidup manusia-manusia (di Jakarta) yang bisa diambil sisi baiknya. Hari ini, saya bersyukur dengan apa yang saya punya. Berusaha untuk tidak mengeluh terhadap apapun yang mungkin tidak berjalan sesuai dengan rencana atau harapan. Karena bagaimana pun, dengan bersyukur hidup akan terasa lebih baik ketika dijalani.


Selamat beraktifitas...


=============
Edutria, 2011. Penggalan-penggalan kisah hidup yang sayang untuk dilewatkan.

Monday, December 12, 2011

Apa Adanya Aja


Ketika kamu telah selesai melakukan sesuatu, apakah kamu akan mengatakan lebih dari yang sudah kamu lakukan?
Pertanyaan hari ketiga ini menggelitik benak saya. "Kita bisa ga sih jujur dengan diri sendiri?" Buat saya pribadi, saya justru lebih senang untuk mengungkapkan dan mengatakan apa adanya terhadap sesuatu yang telah selesai saya kerjakan. Saya tidak suka untuk menambah-nambahi tentang hal-hal yang baru saja saya kerjakan atau lakukan, semata-mata agar saya terlihat lebih dari yang lain.
Bagi sebagian orang, terlihat lebih dari yang lain mungkin adalah hal yang menurut mereka penting. Semacam rasa ingin diakui, karena gengsi atau mungkin ingin menyombongkan diri "ini lho gue". Saya tidak mau seperti itu, saya cukup bangga dengan apa yang telah saya kerjakan dengan kelebihan maupun kekurangannya.
Melebih-lebihkan perkataan atau segala sesuatu diluar apa yang telah kita kerjakan nantinya malah akan menyulitkan diri sendiri. Saya tidak tahu, apakah orang lain berpendapat hal yang sama dengan diri saya.
Bukan berarti selama ini selalu menjadi yang baik-baik saja. Tidak. Jujur, saya sendiri pernah melakukan hal itu. Alasannya hanya satu, lagi-lagi ingin terlihat dan tidak ingin dipandang sebelah mata. Saya tidak malu untuk mengakui hal ini karena memang demikian yang saya alami. Namun kemudian, saya sadar bahwa hal ini tidak baik; untuk diri saya tentunya.
Sekarang, saya lebih suka untuk mengatakan segala sesuatu sesuai dengan kenyataannya. Jika hasilnya tidak sesuai ya bersyukur masih bisa mencoba. Bahkan, saya berani menerima kebenaran yang terkadang terasa menyakitkan daripada sebuah kebohongan yang terasa manis di awal-awal. Banyak orang-orang di sekitar, termasuk teman-teman saya yang tidak terima dengan sebuah kejujuran yang saya ungkapkan. Saya tidak tahu kenapa. Atau mereka hanya ingin mendengar yang baik-baik saja dan menyembunyikan yang terasa pahit untuk mereka terima?

Toh, inilah diri saya. Sebisa mungkin tidak ingin menambah-nambahi dari hal yang seharusnya. Bukankah segala sesuatu yang berlebihan itu kurang baik?

Ah, maafkan kesoktahuan saya tentang hal ini. :)



================
Edutria, 2011. 

Saturday, December 10, 2011

Never Stop Trying


Pilih mana, gagal atau tidak pernah mencoba (sama sekali)?
Buat saya, gagal tidak berarti akhir dari segalanya. Dalam hidup ada saat tak terduga atau bahkan tidak sesuai dengan rencana. Saya lebih senang untuk mencoba segala sesuatu yang menarik minat saya atau sesuatu yang benar-benar baru dan terasa asing untuk saya. Kalau toh hasilnya tidak sesuai, ya tidak apa-apa.
Gagal bukan juga berarti kalah. Saya selalu percaya, di setiap kegagalan selalu ada hal yang bisa saya pelajari untuk menjadi lebih baik. Bahkan mungkin kita akan mendapat sesuatu yang lebih dari saat ini.
Saya sering mengalami kegagalan. Namun, hal ini tidak membuat saya untuk terus berhenti, menyerah pada keadaan dan hanya berpangku tangan. Kalau kegagalan selalu membuat saya untuk berhenti berusaha, tentunya saya tidak akan pernah kemana-mana. Ketakutan akan gagal hanya akan membuat saya semakin terlihat bodoh, karena terkadang ketakutan terbesar kita adalah tentang apa yang belum terjadi. Lebih mudahnya, ketakutan dan pikiran yang negatif sering berperan besar terhadap kegagalan itu sendiri.
Berapa kali anda pernah gagal, ditolak, atau mungkin sesuatu yang diluar rencana Anda? Saya sering. Bahkan, saya pernah merasa bahwa segala sesuatu tidak ada lagi jalan keluar. Saya menyerah. Apa yang saya dapat? Hanya ketakutan-ketakutan yang terus menghantui saya.
Lalu, tiba pada suatu masa ketika saya mulai sadar dan bisa memilah-milah bahwa kegagalan tidak untuk dijadikan batu sandungan. Saya harus tetap maju, berjalan di rel yang benar dan memulai lagi dari awal. Mempelajari dan merefleksikan kegagalan adalah salah satu cara yang baik untuk dapat melangkah dengan lebih teratur dan terarah di kesempatan yang lain.
Kegagalan bukan juga hilangnya semua kesempatan. Memang, hilang satu saat ini tapi tidak berarti selamanya, kan? Beberapa kesempatan terkadang muncul satu kali. Namun, dalam hidup selalu terdapat kesempatan-kesempatan lain yang sering tanpa kita sadari lewat karena kita hanya fokus dengan kegagalan sebuah kesempatan.
Gagal bagi saya berarti ada sebuah kesempatan dan keberuntungan yang lain. Saya malah lebih malu ketika saya hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa sambil memandang sebuah kesempatan yang lewat di depan mata.
Hidup terlalu singkat untuk dilewatkan dengan diam saja dan enggan berusaha. Tidak ada salahnya mencoba, bukankah di setiap manusia-manusia sukses selalu terdapat kegagalan-kegagalan yang mewarnai langkahnya.
Buat saya, kegagalan adalah sebuah proses yang membentuk saya seperti sekarang ini.

Berhenti mengeluh, dan berani keluar dari zona yang selama ini kamu anggap nyaman. Di luar sana, selalu terdapat kesempatan-kesempatan yang bahkan selama ini tidak pernah kamu bayangkan. Tinggal kamu mau mencoba atau tidak sama sekali. Semua ada di tanganmu.

Saya, selalu ingin mencoba hal-hal baru dan itu menambah satu pengalaman berharga dalam hidup.



==============
Edutria, 2011. Saya tidak pernah takut gagal.




Thursday, December 8, 2011

How Old Are You?


Ketika menghadapi pertanyaan seperti di atas, awalnya pun saya bingung dan berpikir cukup lama. Kemudian terlintas di benak, ah mungkin saya ingin usia yang masih muda dibanding dengan usia saya -- yang saya sendiri juga tidak tahu, kan?
Mungkin 17, 18, atau 20 tahun. Kalau bisa memilih maka saya lebih muda lagi. Semacam ingin menengok kembali ke belakang tentang apa dan bagaimana saya menjalani hidup selama ini. Tidak selalu baik, karena pasti setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Jika pada akhirnya pertanyaan seperti ini harus dijawab dengan angka yang valid, maka saya akan menjawab ketika saya masih anak-anak dan mungkin juga seperti ini, "saya bersyukur sudah menjalani hidup selama ini meski saya sendiri tidak tahu seberapa tua diri saya."
Anak-anak, selalu ada kerinduan untuk mengulang kembali waktu ke masa-masa itu. Waktu dimana saya tidak begitu pusing dengan apa yang terjadi di semesta ini. Waktu dimana saya bebas dan leluasa tanpa perlu merasa malu dan terkekang oleh semacam norma atau entahlah mungkin tatanan sosial yang dewasa ini tampak seperti benang yang kusut masai karena tak mengerti ujung pangkalnya. Saya, sebagai anak-anak hanya tahu bermain dan bebas bereksplorasi dengan sekitar. Anak-anak yang polos, yang begitu sederhana dalam memandang hidup.
Lalu semuanya berproses. Anak-anak berkembang menjadi remaja lalu dewasa. Pilihan-pilihan itu pasti ada.
Maka kemudian saya sampai pada kesimpulan, usia tidak begitu penting apakah saya sudah mulai tua atau baru membuka mata dan melihat dunia. Bagi saya, anugerah untuk bisa menikmati hidup dan memberi warna di dalamnya itu lebih bermakna.
Saya hanya berefleksi, di usia saya sekarang, apa yang telah saya berikan untuk hidup dan kehidupan di sekitar saya. Sebagai manusia, saya hanya ingin berguna untuk sekitar dan bersyukur untuk semua yang telah saya terima.

Lagi-lagi, pertanyaan itu kembali masuk dan berkelindan di otak saya, "jadi seberapa tua diri anda?". Hahaha... saya masih muda. Saya 24 tahun, sudah kenal cinta, pacaran, tetapi amat-sangat-belum siap untuk menikah. Sudah puas? :))




=======
Edutria, 2011. Refleksi akhir tahun.

Kembang Api

Taman kota dan lalu lalang pekerja ibukota selepas jam kerja. Dia senang sekali mengamati manusia-manusia yang melintas di depannya. Suara k...