Pages

Tuesday, March 20, 2012

Akhirnya Selesai

Hidup selalu punya caranya sendiri mengungkapkan sesuatu. Selama ini yang kau cari bisa begitu saja dihadirkan di depan mata tanpa kau siap atau berjaga dengan segala kemungkinannya.

Potongan-potongan yang tak utuh. Entahlah, otakku masih terlalu kacau saat ini untuk sekadar merangkai barang satu atau dua kalimat untuk merunut kembali cerita ini. Katakanlah, belum siap untuk saat ini. Aku memang menyiapkan waktu barang seminggu untuk membiarkan diriku seperti ini. Tak menolak, pun tak ingin beranjak pergi.

Lalu, kemarin, aku membaca sebuah buku yang cukup menarik. Memang tidak seperti ceritaku, uhmm... mungkin beberapa bagian bisa cocok juga sih. Di awal buku tersebut, pada bagian ucapan terimakasih aku menemukan kata-kata yang cukup bagus hingga aku bisa sedikit tersenyum.
"As we grown up, we learn that even the one person that wasn't supposed to ever let us down, probably will. You'll never have your heart broken and you'll break others' hearts. You'll fight with your best friends or maybe even fall in love with them, and you'll cry because time is flying by.

So take lots of pictures, laugh a lot, forgive freely, and love like you've never been hurt. Life comes with no guarantees, no time outs, no second chances. You just have to live life to the fullestm tell someone what they mean to you, speak out, dance in the pouring rain, hold someone's hand, comfort a friend in need, fall asleep watching the sun come up, stay up late, and smile until your face hurts. Don't be affraid to take chances or fall in love and most of all, LIVE IN THE MOMENT because every second you spend angry or upset is a second of happiness you can never get back." -Antologi Rasa | Ika Natassa

Terimakasih untuk waktu-waktu yang pernah kita habiskan bersama dulu....

Monday, March 12, 2012

Cerita yang Belum Usai

Aku mencintai lelaki itu. Lelaki dengan senyum paling manis di dunia, dan kelembutan yang luar biasa.
Sayangnya, adalah terlarang bagiku mencintainya. Tolong jangan tanyakan mengapa, karena sampai sekarang, perihal cinta seakan aku sukar untuk mencari jawabnya. Lalu tanyaku pada suatu sore kepada semesta, lewat gumaman atau racauan yang keluar dari mulutku.

Manakah yang lebih penting, wahai semesta, mencintai atau memiliki?

Impul saraf yang mengatur airmataku rasanya telah mati. Aku seperti lupa bagaimana caranya ia melakukan tugasnya. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir airmata pernah keluar dari sana. Sesak.

Beginilah aku, seorang lelaki simpanan yang setiap hari menabung rindu, memeram airmata hingga saatnya nanti bertemu. Itu juga belum tentu dan bukan aku yang membuat jadwalnya. Sabar adalah kata yang paling akrab dalam benakku. Dan aku, sepertinya memang tak berhak untuk cemburu atau bertanya ini dan itu. Memangnya, siapa aku? Aku harus tahu posisi sebagai yang kedua, walau ia pernah berkata akan berlaku adil, tetap saja akhirnya pilihan selalu jatuh pada yang pertama.

Jangan pula kau tanya soal sakit hati, kecewa atau marah kepadaku. Itu seperti tak berguna atau malah haram untuk aku sendiri lakukan. Iya, sekali lagi aku merasa tak berhak.

Siang ini, lagi-lagi aku harus mengalah untuk yang ke sekian kali. Keinginan bertemu tak lebih dari dua jam harus rela aku pupus dari daftar keinginan minggu ini. Sesederhana itu. Iya, hanya dua jam di kafe biasa kita menghabiskan waktu berdua. Sekadar ngobrol, menemaninya dalam diam dan bercanda entah apa. Keinginan yang sederhana, bukan? Bahkan aku tak berani untuk meminta macam-macam. Karena dalam hidupku, aku tidak ingin menyusahkan siapapun.

Dua jam pertemuan dan komunikasi empat mata dengannya kini seperti barang mewah untukku yang aku merasa, kadang aku tak mampu untuk meraihnya. Dua jam yang dulu bahkan bisa lebih, kini tak selalu bisa aku peroleh. Aku bukan sedang protes atau mengeluh tentang hal ini. Sudah menjadi risiko untukku menjalani hubungan cinta yang seperti ini.

Aku tak ingin memilikinya. Aku hanya ingin sekadar cerita dan berbagi tentang apa saja yang aku temui selama hari-hari lalu, bertanya tentang pekerjaannya, keluarganya, anak lelakinya dan tidak ingin memonopoli hanya untuk diriku sendiri.

Aku lelah berdoa, aku lelah meminta. Aku bahkan tak pernah lagi sekadar minta atau memohon kepada Tuhanku meski aku merasa ingin. Entahlah, pernah ada saat dimana aku jengah dan lelah. Toh, hidup tetap memperlakukanku dengan caranya sendiri di satu waktu. Aku lebih suka bercakap-cakap denganNya bukan melalui doa. Seperti teman saja. Ah, rasanya doa hanya membuatku terasa berjarak denganNya. Padahal, aku tak selalu ingin begitu. Aku ingin bebas bercerita apa saja tanpa terasa ada sekat atau jarak. Aku ingin marah, kecewa, menangis (yang lalu aku sadar tak satupun airmata keluar) atau sekadar bersyukur untuk hari-hari yang berhasil dilewati dengan baik. Tidak apa-apa, kan? Bukankah Dia selalu mau mendengarkan?

Keinginan ini lalu aku bungkus dan kusimpan sendiri. Kerinduan seperti meringkusku dalam ruang sempit yang kekurangan udara. Tidak membuatku mati, tetapi aku gelagapan. Rindu terkadang seperti ujung-ujung jarum tajam yang seperti menusuk-nusuk seluruh bagian tubuhku. Keinginan dan kenyataan rupanya tak pernah akur dalam duniaku. Aku seperti dipaksa berjalan dengan langkah yang diseret untuk berhadapan dengan sebuah hal bernama realita. Menyakitkan tetapi sekaligus membebaskan. Namun, aku suka.

Tak apalah, dua jam hari ini kucoret dari jadwalku. Karena masih ada hari lain yang selalu aku siapkan untuk dua jam sakral aku dengan kamu.

Aku selalu mencintaimu.

Kembang Api

Taman kota dan lalu lalang pekerja ibukota selepas jam kerja. Dia senang sekali mengamati manusia-manusia yang melintas di depannya. Suara k...