Pages

Saturday, August 11, 2012

Forgive The Circumstances

Magical Ramadan, day 22

Semestinya kisah ini sudah saya bungkus rapi dan masuk ke kotak kayu yang tidak ingin saya buka kembali dari tempat penyimpanannya di dasar hati saya. Kisah ini akan tetap menjadi kisah saya dan kamu. Namun, setidaknya sekarang menjadi lebih berani untuk menerima dan menatap jalan lurus yang ada di depan. Kisah yang akan tetap ada pada masanya, meski di saat ini kita berdua terasa seperti menafikkan kehadirannya. Kamu sudah melangkah jauh pergi, dan saya pun demikian. Meski langkah kaki saya masih perlahan-lahan, tetapi percayalah bahwa saya tetap tak ingin berhenti. Hidup seperti rangkaian perjalanan yang di dalamnya kita seringkali dipertemukan dengan orang-orang yang dengannya kita menulis cerita, belajar sesuatu, tentang orang yang datang dan pergi silih berganti. Tetapi pada akhirnya, rangkaian cerita yang pernah ada selalu meninggalkan kesan untuk masing-masing dari kita.

Untuk seseorang, kamu, barangkali suatu saat membaca tulisan terakhir ini terimakasih. Bersamamu, pernah ada hidup yang menawarkan berbagai hal-hal manis dan sudah sepantasnya saya kenang. Walaupun tidak lama, tetapi rupanya hidup mengajarkan saya untuk bertransformasi menjadi manusia yang baik. Kehadiranmu selalu saya syukuri sebagai bagian dari alur hidup yang harus saya lalui. Meski di dalam perjalanannya, saya dan kamu tidak bisa lagi satu suara, namun kita pernah ada untuk bersama mewarnai hari-hari yang seperti gambar hitam putih menjadi lebih menarik. Tak pernah ada sesuatu yang harus disesali karena itu. Saya akan terus melanjutkan pencarian tentang apapun, tak melulu soal cinta dan pasangan, tetapi bisa hal-hal baik yang ada di depan sana. Kalau seandainya sekarang kamu telah menemukan, saya turut bahagia dan mendoakan.

Terimakasih karena setelah cerita yang cukup berat itu, saya belajar lebih baik mengerti arti merelakan dan melepaskan. Tidak benar bahwa saya tidak bahagia. Bukankah definisi bahagia itu selalu lain menurut cara pandang masing-masing orang? Bahagia saya, belum tentu menjadi definisi yang paling tepat untukmu. Begitu juga sebaliknya. Terimakasih... Terimakasih...

Saya belajar untuk lebih menghargai diri sendiri termasuk tidak terjebak dalam hubungan yang salah. Buat saya cerita yang kemarin tetap salah. Saya tidak merasa harus berbangga diri karena pernah ada menjadi orang ketiga dalam sebuah rumah tangga. Terimakasih karena Tuhan mengingatkan saya untuk tidak larut di dalamnya. Saya tahu rasanya sebuah pengkhianatan, oleh karena itu saya memilih pergi. Cinta yang saya juga tidak tahu apakah masih ada atau tidak tetap jadi ceritanya tersendiri. Perihal memiliki akan menjadi inti dari cerita yang lain. Terimakasih... Terimakasih... Terimakasih...

Kepergian mengajarkan saya untuk tidak selalu menyalahkan keadaan. Saya tahu, bahwa di setiap perpisahan selalu ada kesempatan yang terbuka lebar. Kalau denganmu bukan jalan saya, akan ada seseorang lain yang akan datang dan mengisi lembar-lembar kosong buku dongeng kehidupan saya selanjutnya. Saya memang harus berubah. Tidak terpaksa, tetapi karena saya mau berubah. Bukankah setiap orang pada saatnya akan dipaksa berubah oleh waktu? Semoga kamu dan saya, meski tak akan lagi bersama berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ini. Terimakasih... Terimakasih...

Dalam mencintai terkadang kita tak selalu memperoleh hal yang sama dari orang itu. Memberi pun tak selalu berbalas menerima. Namun, saya bahagia karena saya sudah melakukan sesuatu yang harus saya lakukan, yaitu menyatakan. Tak pernah ada hal yang lebih disesalkan daripada sesuatu tak terkatakan atau dilakukan. Terimakasih karena saya memperoleh kesempatan untuk mencintaimu.

Proses melepaskan bisa jadi sebuah proses yang melelahkan untuk saya. Harus berani keluar dari zona nyaman agar saya tak jatuh lebih dalam. Belajar memaafkanmu dan segala hal yang tak sesuai dengan harapan. Serta yang paling utama saya harus memaafkan diri saya sendiri bahwa kenyataannya semua sudah tidak baik untuk dilanjutkan. Bukan berarti saya menyerah lantas kalah, saya hanya memaksa diri saya sendiri untuk berani mengatakan cukup. Kebahagiaan saya sepenuhnya bergantung pada diri saya sendiri. Terimakasih karena pengalaman mengolah diri yang berharga ini. Saya tahu, di masa depan semua yang terjadi hari ini akan menjadi salah satu peristiwa yang paling saya syukuri. Terimakasih... Terimakasih... Terimakasih...

Bohong kalau saya mengatakan saya tidak marah. Sebagai manusia normal, adalah hal yang wajar ketika emosi menguasai isi kepala dan hati tak mampu lagi untuk meredam semua. Ada fase dimana saya terus menerus mencari-cari siapa yang benar dan salah. Padahal, kalau dirunut dari awal, saya pun pasti ikut andil dari kesalahan-kesalahan tersebut. Terimakasih untuk ketidakjujuran dan semua yang dirahasiakan, hingga detik ini. Dari diri saya sendiri, semua sudah selesai saya sampaikan. Karena akan sangat menghambat saya melangkah ke depan seandainya saya harus menyimpan dan tidak menyelesaikan apa yang semestinya saya selesaikan. Saya pergi dengan lebih tenang, karena beban pergumulan dan akumulasi kekecewaan sudah dikeluarkan. Terimakasih untuk waktu "menerima" hampir lima bulan ini. Terimakasih... Terimakasih...

Untuk kehadiranmu dan menjadi teman (yang pernah) dekat dengan saya, terimakasih. Saya tidak menyimpan perasaan negatif apapun terhadap dirimu sampai ketika saya menulis postingan ini. Saya tetap tidak akan pernah bisa untuk dipaksa bersikap tidak-biasa-biasa karena memang saya terbiasa menjadi saya-yang-biasa. Saya selalu berusaha menjadi seseorang-seperti-dulu-yang-kamu-kenal. Walau perubahan itu pasti ada, sadar ataupun tidak, nanti ketika kita tak sengaja bertemu entah di sebuah kesempatan dan dalam perjalanan, sapalah seperti biasa. Kita pernah ada untuk sebuah perkenalan, jabat tangan dan pelukan hangat. Terimakasih... Terimakasih... Terimakasih...

Untuk semua sikap dan perubahan yang begitu drastis darimu, terimakasih. Dalam hidup akan selalu ada naik dan turun. Menjadikan sabar dan ikhlas sebagai satu-satunya cara yang paling baik untuk berhadapan dengan situasi tidak mengenakkan tersebut. Terimakasih, karena dengan demikian saya semakin belajar untuk mengatur hati dan tidak membiarkan emosi menguasai saya sepenuhnya.

Melangkah pergi tidak selalu berhubungan dengan menemukan (seseorang baru). Saya hanya meninggalkan situasi dan kondisi yang menurut saya sudah tidak lagi sesuai terhadap hidup saya sendiri. Kalau dalam prosesnya saya menemukan sesuatu, berarti memang ada rencana Tuhan yang baik mengenai hal itu. Terimakasih karena membuat saya lebih berani mengambil keputusan, sekalipun itu sulit.

Akhirnya, saya hanya mampu mendoakan yang terbaik untuk kehidupanmu kelak. Terimakasih sudah menjadi bagian penting dari salah satu cerita hidup yang mengubah saya lebih baik dari sebelumnya. Saya memang bukan seorang yang sempurna. Saya seorang yang tak lelah untuk berusaha. Menjadi yang terbaik untuk diri sendiri, dan orang yang baik untuk orang-orang di sekitar saya. Semoga Tuhan selalu memberi hal-hal baik untuk kita semua. Terimakasih... Terimakasih... Terimakasih...

 

========

Jakarta, 11 Agustus 2012. Awal yang baru.

Monday, August 6, 2012

Hidup Itu (Selalu Penuh) Kejutan

Buat saya, hidup itu mengalami. Menjalani peristiwa-peristiwa yang membentuk cerita tentang diri kita. Hidup selalu penuh kejutan. Ada kalanya manis, namun tak sedikit yang terasa pahit dan kurang mengenakkan. Untuk apapun itu, saya selalu berusaha bersyukur dan berterimakasih, karena kemanapun hidup membawa saya, pada akhirnya saya masih tetap bisa berdiri.

Ini adalah tentang doa atau lebih baik saya bilang kalau ini awalnya sebuah keinginan pribadi saya hampir enam tahun yang lalu. Bahkan saya sendiri sudah melupakan apa keinginan saya itu. Hingga, tadi malam saya merasa seperti diingatkan kembali mengenai hal ini sekali lagi.

Keinginan saya itu boleh dibilang sederhana, dan Tuhan menjawabnya secara tak terduga di sebuah hari Minggu sore. Saya pernah bilang begini, "pengen banget kalau aku bisa nonton Hillsong concert secara live bareng Arya." -- ini enam tahun lebih yang lalu. Hillsong, grup musik rohani dari Australia (yang karyanya sudah banyak dikenal di seluruh dunia) favorit saya dan Arya. Kami dulu rela, menyisihkan gaji untuk membeli kaset dan CD original setiap mereka mengeluarkan album. Kami hafal sebagian besar lagu-lagunya. Namun, hingga beberapa tahun terakhir, pada saat itu Hillsong sama sekali belum pernah mengadakan tour ke Indonesia, dalam hal ini Jakarta. Jadi, satu-satunya cara memang pergi ke Sydney dan ikut Hillsong Conference yang biasa digelar antara bulan Juni-Agustus setiap tahun. Someday, I will attend this event with you, Arya. Mereka memang mengadakan tour ke negara-negara lain, tapi Indonesia tidak pernah masuk dalam daftar. Ada sih, Hillsong UNITED [teens] yang dulu tiap tahun rutin konser di Jakarta, namun kami telanjur cinta dengan Hillsong live karena Darlene Zschech, Reuben Morgan, dan beberapa penyanyi lain.

Siapa Arya? Hahaha... agak malu untuk cerita, tapi biar postingan ini terasa lengkap, bolehlah saya cerita sedikit. Saya mengenal Arya di awal tahun 2006. Dia adalah rekan kerja di kantor lama. He was my someone special. Seseorang yang pernah membuat saya jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Sounds cheesy, huh? Hampir empat tahun kami bersama. Pernah tinggal bareng juga. Dan semacam banyak kenangan manis dengannya. Selera kami sama, dan ajaibnya hari ulangtahun kami pun berurutan. Jadi bintang kami otomatis sama. Ngirit juga sih, waktu itu kalau ngerayain. Dimana ada Arya, hampir pasti di situ ada saya. Tahun 2010, saat itu saya sudah mulai jarang bertemu dengannya. Kami, apa ya, sebenarnya tetap baik hanya ingin menjalani proses-proses yang ada untuk masa depan. Saya pindah, jadi interval kami bertemu pun sudah tak tentu. Saya sempat punya pacar baru, dan begitu juga dengannya. Sebuah proses yang lumayan panjang, karena hampir satu tahun lebih saya dan dirinya tak pernah ada kontak baik sms atau di sosial media. 100% terputus. Tetapi, saya percaya, kalau memang dari awal sudah digariskan untuk bertemu (sekali) lagi, tak pernah ada kata terlambat dari Tuhan untuk kami.

Bulan Juli akhir, awal puasa. Rupanya Tuhan menghendaki agar kami bertemu kembali. Waktu itu saya hanya iseng mau bertemu dengan teman saya di kantor lama. Di sana, karena mungkin sedang lumayan sibuk, dan entah siapa yang bilang, Arya yang turun menemui saya pertama kali. Tatapan matanya masih bisa saya ingat sampai sekarang. Seperti merindukan seseorang cukup lama sampai akhirnya dibawa ke hadapan. Saya mungkin juga begitu.

Kemarin adalah pertemuan kedua saya dengannya setelah di kantor itu. Dari pagi, saya memang sudah berencana untuk mampir ke kost-nya setelah pulang gereja. Tapi, alih-alih ke gereja, justru saya malah terjebak macet hampir satu jam. Padahal, misa akan dimulai. Haha.. pasrah. Kayanya juga ga akan cukup waktu, kalaupun bisa pasti sudah berkat penutup ketika saya sampai. Yasudahlah, saya langsung ke kost Arya, sambil ketemu teman saya yang lain di sana. -- Saya sms dan telp kok ga ada respon. Duh, ini anak kemana. Jangan-jangan memang belum bangun. Wah, ga oke kalau sampai kost ternyata dia juga ternyata tidak sedang di tempat. Akhirnya saya melipir sebentar ke kedai kopi di sebuah mall dekat kostnya, siapa tahu nanti dibalas. Sampai saya duduk di kedai kopi itu, saya masih belum tahu sama sekali tentang Hillsong yang konser sore harinya.

Nunggu sambil ngopi dan baca-baca, handphone saya bunyi. Notifikasi sms dari Arya. Segera saja saya menuju tempatnya. Arya belum bilang apa-apa. Wewww... ini lupa atau sengaja anaknya kasih kejutan. Makan siang, ngobrol masalah kerjaan dan hobi bermusiknya yang semakin hari progress-nya terlihat makin maju. Tawaran manggung, dan jam-session seperti itu. Puji Tuhan. Baru kemudian Arya bilang, "Ed, ada Hillsong. Yuk ke Sarbini sekarang.." -- JGERR!! Benaran saya kaget. Demi apa? Tuhan, ini bukan mimpi, kan? Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan. Dari sini, segalanya dimulakan.... *bahasanya*

Kami naik motor berdua, dan seperti biasa dia akan ngebut begitu ban sudah menggelinding di jalanan. Satu kebiasaan yang ga pernah berubah dari dulu. Sempat deg-degan sih, karena sudah lama sekali saya tidak pernah ngebut di jalan. Satu yang pasti, skill ngebut dia tambah jago. Hahaha... cuma bisa mengencangkan pelukan saya dari belakang. (By the way, I love it :P ), sampai di Balai Sarbini sudah penuh antrian. Beruntung saya masih bisa melewati pintu kaca sebelum ditutup. Perjuangan dimulai. Mau masuk ke hall, tadinya Arya sudah ingin nyerah, "kita keluar aja?", lalu saya jawab jangan keluar pun udah tanggung karena mau lewat mana. Terus naik aja. Saya merangkul dia dari belakang, maksudnya biar ga terpisah. Berhasil naik ke tangga masuk, tapi stucked. Ini kayanya bener-bener nonton konser rohani penuh perjuangan setelah Israel Houghton and New Breed di Senayan beberapa tahun yang lalu. Saya harus fokus lihat jalan, dan jaga badan Arya agar ga jatuh ke belakang dan menimpa saya. Dari situ, saya gandeng tangannya dan satu tangan merangkul badan dia. Hahahaha... udah cueklah sama sekitar. Daripada nyungsep berjamaah. Hampir setengah jam tertahan di tangga padahal ujung pintu masuk hall sudah terlihat. Apa pasal? Ada beberapa orang yang sibuk foto-foto ketimbang memberi jalan yang lain agar bisa masuk. Hihh, I don't get why people keep bussy taking photos instead of enjoy the show. Ga habis pikir aja. Ngambil gambarnya pas menghalangi pintu masuk lagi. Kami bisa naik memang. Tepat ketika Hillsong menyanyikan Shout to The Lord, salah satu lagu yang kami hafal mati. Satu hall ikut bernyanyi, dan saya tetap merangkul Arya dari belakang sembari ikut karaoke massal. Romantic or.... cheesy? I don't mind it. Kami langsung naik ke atas untuk duduk di bangku, karena festival sudah penuh. Tetapi satu hal yang akan selalu saya ingat,
pada suatu ketika, Hillsong menyanyikan sebuah lagu dan sementara itu di sudut kelas festival dua orang berangkulan dan bergandeng tangan. Itu saya. Itu Arya. Kami berdua.

Hillsong tampil luarbiasa. Dua jam yang buat kami para fans-nya memang kurang. Namun, akan ada hal-hal manis yang selalu kami kenang malam itu. -- Keluar dari gedung, somehow, Arya tiba-tiba mengajak saya naik ke Sky Dinning. Saya pikir, mau makan. Tapi kok dia bilang tidak. Ah, ya sudahlah. Kami segera naik ke lantai 9 Plangi. Lagi-lagi, dia ngajak saya untuk minggir yang tahu-tahu view-nya adalah Jalan Gatot Subroto. Uhm, semacam stargazing begitu mungkin ya? Tapi tidak terlihat satu bintang pun, jadi memandangi lampu-lampu dari kendaraan yang melintas dan gedung-gedung tinggi di sekitar. Jujur, meski saya sudah sering ke Plangi, tetapi "stargazing" berdua dengan seseorang yang punya arti khusus tetap terasa lain. Saya membingkainya dalam buku kenangan manis di hati. Kami hanya sebentar di situ, memandang ke kejauhan, dan saya ingat celetukannya. "Kapan-kapan ke sini lagi, ya." Huwow... I'm totally speechless. Saya tersenyum. Saya suka matanya malam itu. Meski bintang tak selalu terlihat di langit malam Jakarta, tetapi di mata kamu saya sudah menemukan bintang itu. -- Hey, apakah rasa itu kembali ada? Duh, saya belum bisa menjawab itu sekarang.

Kami menghabiskan sebuah Cremme Caramel berdua. Duduk di sudut, menatap orang-orang berlalu lalang. Tidak ada perasaan jaga image atau apapun. Kami melebur jadi satu. Lebih sederhananya begini, satu aluminium foil Cremme Caramel kami makan berdua. Bukan, bukan karena kami pelit, tetapi antri buat beli satu itu aja panjang banget. Oh, dan juga, kami ini mungkin termasuk dua orang Libra yang super cuek untuk makan sesendok berdua ganti-gantian. Tidak ada yang harus kami sembunyikan. Kami tetap biasa seperti yang lainnya. Kami, atau mungkin saya (dia pun demikian) rasanya tak perlu risih dengan tatapan orang-orang di dekat kami. Karena yang saya tahu dan ingin kami katakan, kami dua orang yang pernah berjuang dan melewati hari-hari terberat kami bersama-sama. Lagipula, kami belum jadi milik siapa-siapa.

Tuhan luar biasa baik. Hati saya hangat kembali. Entah oleh perasaan yang bagaimana, tetapi saya tahu bahwa ini sudah menjadi rencana-Nya. Walaupun pada akhirnya hidup tak membawa saya pada keinginan yang sama; masa lalu atau saat ini, ketika saya bersama dengannya. Ada satu hal yang tetap saya tuliskan di sudut hati saya, bahwa hidup ternyata tidak berhenti sampai di sini. Saya patah hati, dikhianati, tetapi akan selalu ada seseorang yang dihadirkan ke hadapan saya untuk bersama-sama melewati tantangan yang ada.

--kami membelah jalanan Jakarta sekali lagi malam itu. tidak ngebut seperti sebelumnya. kami seperti menikmati perjalanan pulang. dan buat saya atau dirinya, pulang yang dimaksud adalah menemukan kembali sebuah kunci hati biar waktu yang akhirnya mendekatkan untuk kami--



***

Jakarta, 5 Agustus 2012. Hari Minggu yang melelahkan tetapi menyenangkan. Terimakasih. - Arya adalah nama belakangnya, dan saya memanggil dengan nama lain. Hihihi... *tidak terima kepo*

Kembang Api

Taman kota dan lalu lalang pekerja ibukota selepas jam kerja. Dia senang sekali mengamati manusia-manusia yang melintas di depannya. Suara k...