Pages

Monday, May 7, 2012

Kompleksitas Hidup dan Sebuah Proses Belajar

Hari Ketujuh,
Angka tujuh selalu menarik hati saya. Saya menyukai angka tujuh. Tujuh yang dikali dua sama dengan empat belas adalah tanggal kelahiran saya. Secara pribadi memang saya memfavoritkan hari ini, disamping sebuah tugas yang rasa-rasanya memang ingin saya tulis. Saya sendiri pernah mengutarakan niat saya kepada seseorang untuk menulis lebih banyak lagi sosok yang akan saya tulis ini. Saya memang tak pernah percaya akan adanya kebetulan. Semua yang berada di alam semesta adalah bagian dari rencana-Nya. Entah free-will itu ada atau tidak, pada akhirnya saya melihatnya sebagai konsep dan kesadaran manusia untuk mengubah konteks dan cara pandang sebuah hal. Kita (katanya) diberi kebebasan untuk memilih. Kanan atau kiri, pilihan yang satu atau yang lain. Namun, pada ujungnya selalu menunggu sebuah konsekuensi. Tak pernah benar-benar bebas. Tetapi kesadaran kitalah yang harus kembali memandang hal itu sebagai anugerah atau menjadikannya masalah. Toh, dari awal kita sendiri yang telah memilih. Sebenarnya, ini semacam pendapat sok tahu dari saya sendiri sih untuk -- katakanlah, lebih mudah untuk diterima impul syaraf dari sel-sel otak saya. Pikiran saya.

Dalam hidup, akan selalu terdapat masalah-masalah yang menuntut kita untuk diselesaikan. Beberapa diantaranya, terkadang membuat kita bertanya-tanya apa dan mengapa. Misalnya, apa salah saya atau mengapa harus saya. Setiap orang punya masalahnya sendiri-sendiri. Apa yang menurut kita sepele, bagi orang lain mungkin seperti akhir dari hidupnya.

Masalah saya sekarang, bisa jadi terlihat amat sangat sepele buat orang lain. Namun untuk saya, ini adalah beban yang menuntut saya untuk segera membereskan. Mendistrak pikiran saya yang semula fokus, menjadi terpecah ke dalam beberapa hal hampir dua bulan ini. Saya tidak akan menceritakan secara gamblang di tulisan ini. Saya hanya akan membuat sebuah surat terbuka, karena sampai sekarang saya masih tidak tahu bagaimana caranya saya menyampaikan langsung.
Untuk Ajenehh, sengaja saya memakai nama lain. Banyak yang ingin saya tulis entah nanti berguna atau tidak, semoga pesan ini tersampaikan. Kita tak pernah saling mengenal. Namun rupanya, hidup memaksa kita menjalani awal yang boleh dibilang tidak menyenangkan. Harusnya, kita tetap jadi dua orang asing di dunianya masing-masing. Tetapi saya selalu percaya ada maksud Tuhan dengan semuanya. Masihkah menganggap saya sebagai satu-satunya sumber masalah? Kalau pun iya, tidak apa-apa. Sekarang ini, semua seperti benang kusut dan tak yakin akan terurai ujung pangkalnya. Begitu aneh, ketika seseorang yang bahkan tidak pernah saya kenal menganggap saya sebagai satu-satunya orang yang harus dipersalahkan.

Aje, saya tahu, sesuatu itu belum menemukan titik terang. Terlalu banyak prasangka-prasangka yang selewat hadir di sudut pikir. Saya tidak marah pun dendam dengan yang telah terjadi. Nyata-nyata yang saya tahu, kita adalah dua orang yang sedang dipermainkan oleh "keadaan dan situasi." Kamu pasti mengerti maksudnya. Pada akhirnya saya memilih diam dan pergi. Saya tidak ingin melawan. -- Mengapa kita tak coba untuk sedikit saja merendahkan hati dan meletakkan ego kita sendiri dan mulai berbicara hati ke hati?

Kalau kamu membaca tulisan ini, saya ingin menyampaikan, seseorang yang kini dekat dengan kamu telah bersama dengan saya sebelumnya, bisa jadi sebelum kamu ada. Saya tidak datang tiba-tiba. Namun pada akhirnya saya memilih melepaskan bukan karena saya tak ingin berjuang, tetapi hati mengisyaratkan cukup. Saya sadar dari awal, bahwa tak pernah ada kompetisi siapa unggul atas siapa. Kamu memang tidak akan pernah memperoleh apa yang jadi menjadi penasaranmu terhadap saya sekarang. Nanti. Hidup selalu punya caranya sendiri mengungkapkan sesuatu. Selama ini yang kau cari bisa begitu saja dihadirkan di depan mata tanpa kau siap atau berjaga dengan segala kemungkinannya. Titip mas, ya. Tanpa saya, berarti Tuhan memercayakan kamu untuk menjaganya lebih baik dari yang pernah saya berikan. Saya juga percaya kamu orang yang baik. Itu saja. Mengenai sikap-sikap kamu ke saya kemarin, saya tak pernah mempersalahkan. Saya memaafkan bukan lantaran kamu belum tahu, tetapi hati saya bilang memaafkan tanpa harus punya tendensi apa-apa. Tidak ada yang benar atau salah di sini, yang ada hanyalah semacam 'waktu belajar' untuk semua. Dengan tangan terbuka, saya selalu siap untuk sekadar ngobrol berdua dan menanggalkan segala 'atribut' yang melekat di  diri kita. Kamu tak pernah jadi musuh saya. Strangers are just family you have yet to come to know. -Mitch Albom Kamu percaya? Dari titik ini, saya tidak lagi memandang kamu sebagai orang yang sama seperti waktu-waktu lalu. Kamu seseorang yang baru. Hingga saatnya, Tuhan punya cara yang lebih baik untuk melaksanakan apa yang selama ini selalu jadi sebuah tanda untuk saya. Semoga.  -E-

Masalah yang ada buat saya menjadi semacam ruang kelas untuk belajar. Dari sanalah saya ditempa untuk bertumbuh dan berkembang menjadi seseorang lebih baik. Masalah yang seringkali datang dan mendistrak kemampuan berpikir saya untuk bergerak, biasanya turut andil yang tidak sedikit terhadap warna hidup yang saya jalani. Selama hampir dua bulan sejak "saat" itu, saya belajar untuk menjadi seseorang yang lebih sabar, ikhlas dan berani untuk mengubah hal yang selama ini menurut saya sebagai beban menjadi sebuah kejadian yang mustinya saya syukuri. Saya menjadi lebih berhati-hati ketika berhadapan dengan sesuatu yang negatif, dan tidak asal-asalan untuk bertindak / mengambil keputusan. Kalau sekarang saya belum menemukan orang yang tepat, pada waktunya nanti pasti akan ada seseorang itu. Mungkin sekarang, tugas saya bukan mencintai dan fokus hanya pada satu orang. Tetapi dengan orang-orang di sekitar saya, seperti teman-teman, keluarga, dan sahabat. Kehilangan tidak selalu tentang hidup yang tiba-tiba tercerabut dan berhenti. Saya bersyukur untuk waktu sekarang. Lebih banyak kesempatan untuk berkaca dengan diri sendiri dan menikmati waktu-waktu yang tadinya terlewat. Saya sudah merasa tenang dengan apa yang saya punya. Tak berlebih, tetapi cukup untuk saya pribadi. Terimakasih untuk hidup yang memberikan saya kesempatan belajar di salah satu ruang-ruang kelasnya. Saya sadar, masih banyak kelas-kelas lain yang nanti akan dipelajari. Semoga selalu ada kemampuan, kekuatan dan kesiapan diri pada saatnya. Terimakasih... Terimakasih... Terimakasih...

 

 

------------------------

Magical May 2012 - day 7 | Biggest Stone, Tallest Wall

No comments:

Post a Comment

Kembang Api

Taman kota dan lalu lalang pekerja ibukota selepas jam kerja. Dia senang sekali mengamati manusia-manusia yang melintas di depannya. Suara k...