Pages

Tuesday, April 21, 2015

This Is Me Letting You Go

This is my knowing life goes on. Knowing that someday I will not think of love as a feeling that’s exclusive to you and I, as crazy as that seems to me right now. That eventually I’ll meet someone new – someone who loves the foods you hate and laughs at things you don’t find funny and appreciates the parts of me that you once left undiscovered. That some days, in the early morning hours, I’m going to wake up beside them and forget – just for an instant – that it is not your body tangled in mine.

This is me knowing that I have to let you go. That no matter how much I love you or how hard we work at this or how badly we both want each other to be happy, we are never going to be the right partners for each other. This is my acceptance that the best things are never straightforward and that I want you to take whatever crooked, twisted path you need to take if it will lead you towards your dreams. This is me knowing that I have to do what’s right. That sometimes the best thing you can do for someone you love is to let them go – to do more, feel more, be more than the person they ever could ever have become by your side.

Thursday, April 9, 2015

Mengejar Bahagia

"ini lagu siapa? Celine bukan?"

Sebuah lagu yang mencuri perhatian saya ditengah obrolan dengan seorang teman di toko buku beberapa hari kemarin. Liriknya menyentil saya entah kenapa.

"Tahu judulnya nggak?"

Sempat diam sejenak, saya membuka sebuah aplikasi di telepon pintar mencoba mencari tahu judulnya. Ketemu. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba merangsek masuk. Ingatan saya terlempar pada seseorang yang akhir-akhir ini muncul kembali dalam hari-hari saya. Rasanya aneh, tetapi saya suka.

Senggolan kecil, jabat tangan sekilas, dan tatapan matanya. Saya ingat betul. Pertemuan biasa yang tak direncanakan atau sebenarnya pun tidak kami inginkan. Kami sama-sama tidak ingin mencari, kami saling menjauh. Cukup sore itu saja dan kami berdua kembali jadi orang asing di dunianya masing-masing.

Saya sendiri lupa dan dirinya barangkali tidak pernah menganggap saya ada. Saya tidak peduli karena dia bukan siapa-siapa. Hidup kami terus berjalan.

Lalu hati punya aturan sendiri ketika kepala mulai perlahan-lahan menghapus semua tentang dia. Ingatan-ingatan sore itu, esok hari, dan berhari-hari setelahnya. Kenangan yang bukan samar-samar. Begitu jelas hingga saya bisa meresapi dan merasakan sakit, marah, dan kecewa karenanya. Saya benci.

Saya percaya bahwa kita tidak akan pernah tahu dengan siapa dipertemukan di masa depan. Pun dengan dirinya. Suka atau tidak suka, dirinya hadir dalam mimpi malam saya. Hampir setiap hari. Kami baik-baik saja. Kami bahkan tak terlalu mengenal satu sama lain, buat apa pikir saya. Di matanya bisa saja saya adalah biang onar. Atau memang saya sendiri yang belum bisa menerima dan terlalu keras kepala.

Hangat. Sesuatu yang mengalir dari dalam setiap pagi ketika malam sebelumnya saya bermimpi bertemu dengan dirinya. Sesuatu yang bahkan tidak perlu saya lawan adanya karena perasaan tenang dan nyaman yang ia bawa. Perasaan yang bertahan sangat lama hingga saya sadar bahwa dia sama seperti saya. Sama-sama manusia. Hati saya berubah. Cara saya melihat dirinya tak pernah lagi sama. Netral.

Mimpi-mimpi panjang yang selalu berubah setiap malam. Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Magelang, dan stasiun kereta. Dirinya dan saya. Bisa jadi cara Semesta sedang membersihkan dan meringankan langkah-langkah saya.

Mungkin saya mulai merasa suka. Kalaupun saya mau berandai-andai, saya jatuh cinta. Percakapan-percakapan yang terjadi dalam mimpi tentang perjalanan, kami, dan beragam kejadian yang mau tidak mau akan tetap saling bertautan. Dirinya dan saya adalah dua dari sekian banyak orang-orang yang digariskan bersinggungan dan bersimpangan di satu titik karena sebuah tujuan. Entah nanti akan bersama atau cukup sampai di sini lalu kita akan memisah langkah meneruskan perjalanan.

Percakapan terakhir dengannya tidak mungkin saya lupa, "aku selalu tunggu kamu di sini, ya." Begitu katanya sembari melepaskan gandengan tangan dan saya yang kemudian melangkah pergi. Dia lalu tersenyum. Mimpi terakhir yang membuat saya kembali berani melangkah dan menulis surat untuknya sekadar mengucapkan kata maaf dan terimakasih. Itu saja, tidak lebih. Surat balasan yang kemudian saya terima tak lama setelah dikirim.

Saya terus mengejar bahagia saya, seperti dirimu yang saya yakin sama. Meskipun bahagiaku belum tentu sama dengan bahagia menurut versimu. Tidak apa-apa. Kelak ketika semesta menghendaki kita untuk bertemu, saya sudah lebih siap. Tenang saja karena saya tidak ingin terburu-buru. Lagipula rasa ini memang belum punya nama. Atau biarkan saja ia tetap tak bernama.

Saya selalu ingat kamu. Angka delapan, bulan sembilan, senyum, dan mata yang sendu. Terimakasih...

Kembang Api

Taman kota dan lalu lalang pekerja ibukota selepas jam kerja. Dia senang sekali mengamati manusia-manusia yang melintas di depannya. Suara k...