Jakarta, Juni 2008
Hari masih pagi, ketika bunyi alarm telepon seluler Ardi berbunyi. Pukul 05.00. Ardi bergegas bangun, merapikan sisa-sisa berpetualang di alam mimpi semalam. Diluar langit masih gelap, Mentari juga belum ingin bangun dari peraduannya. Satu jam lagi, begitu kata Mentari. Ahh, pagi ini dingin. Bisa terlihat dari jendela kamar Ardi, langit Jakarta tampak muram dengan mendung menggantung hitam. Setelah menyalakan CD player yang ada dikamar mungil itu, Ardi menyambar handuk dan segera mandi. Tidak ada yang istimewa pagi itu, tidak ada sarapan pagi karena Ardi memang tidak terbiasa akan hal ini. Hanya satu, ritual cium tangan dengan keponakannya yang tidak boleh terlewat barang satu kali pun. Pukul 06.45 Ardi segera meninggalkan rumah dan bergabung dengan jutaan manusia Jakarta yang pagi ini, seperti biasa terburu-buru agar segera sampai di tujuan mereka masing-masing. Inilah pemandangan kota besar seperti Jakarta di waktu pagi.Muka Ardi cerah. Tampaknya mood pagi ini dalam keadaan baiki. Udara Jakarta cukup sejuk dan Mentari yang enggan menampakkan senyum pagi ini, seperti menambah semangat lelaki satu itu untuk memulai aktifitasnya hari ini. Macet, mendung, gerimis tak menyurut langkah Ardi untuk segera tiba di kantor.
***
"Selamat pagi!" sapa Ardi kepada setiap rekannya yang dia jumpai di koridor kantor.
"Oh, haii.. Selamat pagi, Di. Cerah bener pagi ini. Ciyeeee..ahem..ahemm, bagi-bagi dong itu cerahnya" kata Franca, sahabat Ardi yang kebetulan satu kantor.
"Hai, Ca... Biasa nih, ga tau tiba-tiba seneng aja. Nih gw bagi buat lu, cantik!" sambung Ardi dengan tergelak.
"What a wonderful day!! Ardi Sapta Widjaja... baru kali ini paig-pagi senyumnya udah selebar tampah. Biasa manyun lu, Di" tiba-tiba Bimo datang dan ikut nimbrung.
"Hahaha.. Sialan kau, Bim. Gw emang kaya gini kalee. Kemana aja selama ini" Ardi tak mau kalah.
"You looks so in love, Ardi. Seriously!! Are you agree, Franca?" lanjut Bimo.
"Uhmm.. Yup!! Agree with you, Bim. Segera makan-makan nih kita. Dimana, kapan nih?" kata Franca yang cukup bisa membuat pipi Ardi bak tomat merah siap panen.
"Heehh... Udah ah. Ayo kerja kok malah jadi ngerumpi di koridor gini. Huss..cepetan sebelum si Emak nongol. Bisa ribet urusannya tuh."
"Bye, Franca...Bimo. See you at lunch. Muachhh" Ardi ngeloyor pergi.
Ardi masuk dalam ruang kerjanya. Segera menyalakan lampu dan membuka desktop kantor. Memandang sekeliling dan tiba-tiba terbersit dibenaknya untuk menyapa seseorang yang jauh disana. Bekerja di kota lain. Seseorang yang membuat Ardi, masih menambatkan hati untuk orang itu sampai hari ini, meski mereka tak lagi bersama. Sebut saja Kecil. Panggilan sayang Ardi yang baru untuk orang itu. Gagang telepon segera Ardi raih dan mulai menekan sebaris nomor telepon yang Ardi sendiri yakin telah hafal luar kepala. 0..8..5..2.. dan terdengar bunyi nada tunggu. Ardi yang menyandar di samping meja kerjanya tidak yakin apakah nanti telepon itu akan di angkat. "Gambling... ya, kita main judi aja disini. Tebak-tebak buah manggis. Nothing to lose. Gw niat baik mau ngucapin selamat pagi" gumam Ardi meyakinkan dirinya sendiri.
Nada sambung kedua, kelihatannya diangkat. Terdengar diseberang sana, sebuah suara yang telah lama ingin sekali Ardi dengar. Terima kasih Tuhan, ternyata diangkat juga.
"Halo..." sapa Kecil yang tentunya dengan intonasi yang membuat Ardi seakan terbang karena bahagia.
Ardi terdiam sebentar sebelum ia membalas sapaan Kecil.
"Halo... Selamat pa.." tut..tut..tut..tut.. Bunyi telepon diputuskan secara sepihak sebelum Ardi selesai mengucapkan salamnya.
Ardi tersentak. Seketika ia merasa ada yang hilang, terbang dari dirinya. Ardi meletakkan gagang telepon. Kecil tahu bahwa Ardi menghubunginya.
Ardi mencoba lagi... dan lagi... Tidak ada jawaban. Hanya bunyi mesin penjawab dan operator.
"Kenapa Tuhan? Apakah saya salah ketika ingin mengucapkan selamat pagi kepada orang yang saya sayang, meski saya tahu Kecil tidak lagi bersama saya?" Ardi menggumam tak jelas.
Dia meraih telepon selulernya dan mulai mengetik pesan singkat. Nomor Kecil tentunya yang kali ini dia ketik.
"Thanks ya. Bilang saja tadi lagi sibuk atau gimana bisa kan?"message sent
"Saya kaya dilempar sampah di muka saya. Plis, hargain sedikit niat baik orang lain untuk menyapa kamu. Siapapun itu... :) Saya ga marah"pesan kedua pun ikut terkirim juga.
Lelaki ini pasrah. Tersinggung ataupun tidak nantinya setelah Kecil membaca pesan singkat itu tidak membuat Ardi gentar. Dia hanya merasakan sedikit kecewa, dan hatinya terluka kembali.
***
Desktop menyala, Ardi mengetik dalam jurnal online pribadinya.
Saya tidak menyuruh orang lain untuk bisa menghargai saya. Terpenting dari semuanya itu, saya hanya berusaha memberikan yang terbaik apa yang saya mampu untuk memberi sedikit kebahagiaan untuk sekitar saya. Saya menghargai mereka seperti saya menghargai setiap detik, setiap hembusan nafas yang telah Tuhan berikan cuma-cuma kepada saya.
Ketika tulisan ini saya buat, perasaan terluka dan kecewa ada dibenak saya. Alih alih dianggap penting, bahkan saya merasa tidak sedikitpun usaha saya terlihat berharga di matanya. Berulang kali. Namun, sebanyak itulah saya menerima dan selalu membuka pintu maaf saya lebar-lebar. Entah dengan apa, Tuhan membuat dan melapisi hati saya hingga cukup kuat untuk menghadapi semuanya.
Saya tidak marah kok, Tuhan. Saya cukup senang. Sepotong kata 'Halo' yang tadi terucap dari bibir mungilnya telah membuyarkan rasa sakit dan kecewa yang tadi ada. Itu sudah cukup. Saya senang, masih terdapat aura kebahagiaan dari sepotong kata yang dihati saya itu dalam dan bermakna.
Ketika seseorang meminta orang lain utk menghargai dirinya, dia kadang lupa bahwa seharusnya juga berbuat hal yang sama. Sekecil apapun itu, dan dengan siapapun. Saya terluka. Namun, sepotong 'halo' menyadarkan saya utk melupakannya. Saya memaafkannya... :)
Ardi segera menutup jurnal pribadinya. Dia tak merasakan bahwa matanya memanas dan pandangannya mulai mengabur bersamaan dengan bening yang seolah tak mau dibendung dari kedua bola matanya. Ardi mengusap kedua sudut matanya dengan sapu tangan yang selalu ada di kantong celananya. Sudahlah... Dia saja bahagia, masakan aku tidak? Mendengar Kecil baik-baik saja itu telah menambah cadangan nyawa buat saya.
====================
Cerpen kedua dari tangan saya. Maaf, masih belajar menulis dengan rapi.
No comments:
Post a Comment