Aku mencintai lelaki itu. Lelaki dengan senyum paling manis di dunia, dan kelembutan yang luar biasa.
Sayangnya, adalah terlarang bagiku mencintainya. Tolong jangan tanyakan mengapa, karena sampai sekarang, perihal cinta seakan aku sukar untuk mencari jawabnya. Lalu tanyaku pada suatu sore kepada semesta, lewat gumaman atau racauan yang keluar dari mulutku.
Manakah yang lebih penting, wahai semesta, mencintai atau memiliki?
Impul saraf yang mengatur airmataku rasanya telah mati. Aku seperti lupa bagaimana caranya ia melakukan tugasnya. Bahkan aku tidak ingat kapan terakhir airmata pernah keluar dari sana. Sesak.
Beginilah aku, seorang lelaki simpanan yang setiap hari menabung rindu, memeram airmata hingga saatnya nanti bertemu. Itu juga belum tentu dan bukan aku yang membuat jadwalnya. Sabar adalah kata yang paling akrab dalam benakku. Dan aku, sepertinya memang tak berhak untuk cemburu atau bertanya ini dan itu. Memangnya, siapa aku? Aku harus tahu posisi sebagai yang kedua, walau ia pernah berkata akan berlaku adil, tetap saja akhirnya pilihan selalu jatuh pada yang pertama.
Jangan pula kau tanya soal sakit hati, kecewa atau marah kepadaku. Itu seperti tak berguna atau malah haram untuk aku sendiri lakukan. Iya, sekali lagi aku merasa tak berhak.
Siang ini, lagi-lagi aku harus mengalah untuk yang ke sekian kali. Keinginan bertemu tak lebih dari dua jam harus rela aku pupus dari daftar keinginan minggu ini. Sesederhana itu. Iya, hanya dua jam di kafe biasa kita menghabiskan waktu berdua. Sekadar ngobrol, menemaninya dalam diam dan bercanda entah apa. Keinginan yang sederhana, bukan? Bahkan aku tak berani untuk meminta macam-macam. Karena dalam hidupku, aku tidak ingin menyusahkan siapapun.
Dua jam pertemuan dan komunikasi empat mata dengannya kini seperti barang mewah untukku yang aku merasa, kadang aku tak mampu untuk meraihnya. Dua jam yang dulu bahkan bisa lebih, kini tak selalu bisa aku peroleh. Aku bukan sedang protes atau mengeluh tentang hal ini. Sudah menjadi risiko untukku menjalani hubungan cinta yang seperti ini.
Aku tak ingin memilikinya. Aku hanya ingin sekadar cerita dan berbagi tentang apa saja yang aku temui selama hari-hari lalu, bertanya tentang pekerjaannya, keluarganya, anak lelakinya dan tidak ingin memonopoli hanya untuk diriku sendiri.
Aku lelah berdoa, aku lelah meminta. Aku bahkan tak pernah lagi sekadar minta atau memohon kepada Tuhanku meski aku merasa ingin. Entahlah, pernah ada saat dimana aku jengah dan lelah. Toh, hidup tetap memperlakukanku dengan caranya sendiri di satu waktu. Aku lebih suka bercakap-cakap denganNya bukan melalui doa. Seperti teman saja. Ah, rasanya doa hanya membuatku terasa berjarak denganNya. Padahal, aku tak selalu ingin begitu. Aku ingin bebas bercerita apa saja tanpa terasa ada sekat atau jarak. Aku ingin marah, kecewa, menangis (yang lalu aku sadar tak satupun airmata keluar) atau sekadar bersyukur untuk hari-hari yang berhasil dilewati dengan baik. Tidak apa-apa, kan? Bukankah Dia selalu mau mendengarkan?
Keinginan ini lalu aku bungkus dan kusimpan sendiri. Kerinduan seperti meringkusku dalam ruang sempit yang kekurangan udara. Tidak membuatku mati, tetapi aku gelagapan. Rindu terkadang seperti ujung-ujung jarum tajam yang seperti menusuk-nusuk seluruh bagian tubuhku. Keinginan dan kenyataan rupanya tak pernah akur dalam duniaku. Aku seperti dipaksa berjalan dengan langkah yang diseret untuk berhadapan dengan sebuah hal bernama realita. Menyakitkan tetapi sekaligus membebaskan. Namun, aku suka.
Tak apalah, dua jam hari ini kucoret dari jadwalku. Karena masih ada hari lain yang selalu aku siapkan untuk dua jam sakral aku dengan kamu.
Aku selalu mencintaimu.