Persimpangan. Aneka pilihan muncul di kepala. Seringnya semua ingin direngkuh dalam genggaman. Seperti menggenggam pasir semakin erat semakin banyak pasir yang berjatuhan. Terlepas. Lalu akhirnya kosong. Tangan kita tak menggenggam apa-apa. Kita lupa dengan ukuran kemampuan diri sendiri.
Siang yang terik ketika percakapan itu dimulai. Keinginan-keinginanmu, cita-citamu, dan semua pilihan yang sedang disajikan di depan mata untuk dipilih.
“Saya mau begini, tetapi saya juga ingin melakukan hal lain. Saya tidak tahan lagi,”
“Kamu harus memilih. Memilih dari sekian banyak kemungkinan yang akan terjadi dan bertanggungjawablah.”
“Takut untuk pilihan yang salah atau takut bahwa kenyataan kamu tidak berani mengambil risiko?”
“Salah satunya. Namun, saya tidak ingin lagi ada di sini.”
“Lalu… apa masalahnya? Dan apa yang ingin kamu raih dalam hidup? Saya juga yakin masih banyak hal berkelindan di kepalamu. Keluarkan.”
“Saya hanya takut ketika semakin hari saya bertambah tua saya masih seperti ini. Di sini saja. Mentok. Saya harus mengejar cita-cita saya sebelum terlambat.”
“Boleh saya bilang sesuatu? Terlambat atau tidak itu relatif. Semua berasal dari pikiranmu. Buat saya tidak pernah ada kata terlambat untuk memulai sesuatu. Awalnya dari niat baik.”
“Saya juga merasa tidak nyaman dengan keadaan saat ini. Apapun.”
“Tinggalkan atau kamu mulai lagi mencoba menikmati dan menerima apapun yang ada.”
“Saya tidak berani, tapi saya pun tidak tahan.”
“Melepaskan sesuatu yang memang sudah seharusnya dilepas itu sulit. Percayalah, tidak semua hal perlu kamu genggam sendiri. Tidak akan mungkin.”
“Lalu? Berhenti bertanya-tanya dan belajarlah menerima.”
“Ada satu hal yang masih mengganjal. Bagaimana ketika saya mengambil sebuah pilihan lalu gagal dan tidak ada seorang pun yang membantu saya?”
“Kata siapa? Pikiranmu? It is okay to ask for help.”
“Saya maunya seperti ini, lalu begini, dan nanti begitu. Bisa?”
“Kamu terlalu banyak mau. Bingung sendiri akhirnya. Belajarlah cukup dan menerima apapun yang kamu punya.”
“Siapa bilang gampang? Ketika memilih kita perlu tahu akhir tujuan termasuk risiko-risikonya. Namun, saya sendiri lebih menikmati proses menuju akhir itu tidak melulu hasilnya.”
“Iya. Semua pilihan. Ada banyak hal untuk dipilih, lalu kita mengambil satu dan melepaskan yang lain.”
“Contohnya? Saya masih belum yakin.”
“Sederhana saja. Dari hal yang pernah kamu hadapi sebelumnya. Ketika kamu akhirnya mantap mengambil keputusan untuk pergi — melepaskan dan meninggalkan saya. Mulai dari situ.”
“Hanya contoh. Ketika seseorang dihadapkan pada pilihan rumit — melepaskan bagian terpenting hidupnya untuk hal atau seseorang baru yang menurutnya lebih baik — dan saya termasuk dalam pilihan-pilihanmu pada waktu itu.”
“Kamu bisa. Kamu sudah pernah memilih sebuah pilihan dan melepaskan sebelumnya.”
Lalu percakapan itu usai begitu saja.
E — September, 2014. Dua kepala yang mencoba mengerti isinya satu sama lain.
No comments:
Post a Comment