Matanya tak lepas dari ponsel pintar di depannya. Beberapa kali dirinya melongok penunjuk waktu digital yang tertampang di layar, resah, menunggu sesuatu. Sebentar lagi pertunjukan dimulai. Air mukanya sedikit tegang.
Dia lalu membuka-buka buku harian merah di meja yang sedari tadi dibiarkan tak tersentuh dan mulai menulis,
Selama ini barangkali aku terlalu abai dan takut membuka percakapan dengannya. Butuh setahun lebih sampai pada suatu hari Semesta seperti memaksaku untuk menyapa terlebih dulu.
Atau, dulu aku terlalu sibuk mengejar dan mengedarkan pandang ke segala arah hingga lupa ada yang terlewat di depan mata. Kesempatan; dan kamu.
Bisa jadi aku harus naik turun, susah senang, dan belajar dari banyak pengalaman lalu kemudian dipertemukan kembali denganmu.
Setahun; dan kamu tetap sama seperti saat ku melihatmu dulu.
Aku tidak takut lagi. Kini sudah ada kamu.
Dia berhenti. Duduknya menegak dan matanya berbinar. Jelas terlihat mukanya kini memerah. Senyum yang ia cari kini berdiri di depannya.
"Hai, maaf aku terlambat."